Korupsi dan Politisasi Merupakan Masalah Budaya dan Sistem Politik Indonesia
Korupsi dan Politisasi – Di penghujung tahun 2020, masyarakat Indonesia dihadapkan pada dua kenyataan yang sulit.
Di satu sisi, jumlah penularan virus COVID-19 meningkat tajam.
Di sisi lain, ironisnya, ada tudingan bansos yang bertujuan meringankan penderitaan masyarakat akibat pandemi, dikorupsi dan salah satu tersangkanya adalah Menteri Sosial Juliari Batubara.
Lembaga penegak hukum di berbagai daerah di Indonesia juga telah menerima berbagai laporan dugaan penyalahgunaan tunjangan kesejahteraan pandemi.
Sebelum kasus korupsi kesejahteraan sosial COVID-19, banyak kasus korupsi kesejahteraan sosial, terutama di tingkat pemerintah daerah (Pemda).
Korupsi dan Politisasi: Masalah Administrasi Bantuan Sosial
Berdasarkan peraturan yang berlaku saat ini, bantuan sosial hanyalah pemberian uang, barang atau jasa oleh pemerintah pusat atau daerah kepada individu, keluarga, kelompok atau masyarakat untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan risiko sosial.
Secara umum, mekanisme pengelolaan bansos dibagi menjadi tiga fase: penganggaran, pelaksanaan, dan pelaporan.
Masalah korupsi dan politisasi dengan program bantuan sosial paling sering muncul dalam tahap perencanaan anggaran dan pelaksanaan bantuan sosial – dua dari tiga tahap umum yang disebutkan di atas.
Pada tahap anggaran, kementerian, lembaga, atau pemerintah daerah menyusun daftar penerima bantuan sosial.
Sebagai bagian dari kesejahteraan sosial COVID-19, Kementerian Sosial (Kemensos) telah membuat penetapan berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang memuat data 40% penduduk termiskin di Indonesia.
Penetapan penerima bansos juga dapat didasarkan pada hasil seleksi proposal tertulis dari calon penerima bansos. Hal ini umumnya berlaku bagi pemerintah daerah untuk bantuan sosial berupa barang/jasa.
Masalah pertama adalah keakuratan data referensi yang digunakan untuk mengidentifikasi penerima kesejahteraan
Kemensos sendiri mengakui DTKS terakhir dimutakhirkan secara besar-besaran pada tahun 2015, sedangkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengidentifikasi berbagai persoalan terkait DTKS seperti tumpang tindih data yang tidak lengkap dan duplikasi jutaan data.
Masalah kedua adalah bahwa kesejahteraan rentan terhadap tujuan politik
Ketidakakuratan data, ditambah dengan besarnya kewenangan kepala daerah dalam menentukan siapa yang akan menerima bansos, mendorong adanya kolusi dalam penyaluran bansos: penyaluran bansos didasarkan pada pertimbangan politik dan elektoral ketimbang kebutuhan riil masyarakat.
Studi Ward Berenschot, peneliti politik asal Belanda, mengenai politik klientelisme di Indonesia mengidentifikasi kesejahteraan dan hibah sebagai salah satu sumber daya yang rentan digunakan untuk tujuan pemilu.
Temuan ini didukung oleh hasil studi pemilihan kepala daerah Banten tahun 2011, ketika gubernur petahana memberikan bantuan sosial dan hibah ke daerah-daerah yang didukung suaranya.
Saat disalurkan, bantuan sosial diberikan dalam bentuk uang tunai atau transfer ke rekening penerima atau bank penyalur.
Penyaluran bansos berupa barang didahului dengan proses pengadaan barang/jasa, yang kemudian diteruskan langsung kepada penerima bansos.
Cara ini digunakan Kemensos untuk penyaluran bantuan bahan pokok senilai puluhan triliun rupiah dari COVID-19 yang belakangan bermasalah.
Korupsi pengadaan adalah masalah ketiga dalam pelaksanaan bansos
Dalam kasus korupsi kesejahteraan sosial COVID-19, perusahaan pengadaan diduga membayar “upah” pejabat Kementerian Sosial atas penunjukannya sebagai penyedia paket kesejahteraan pandemi.
Ada juga masalah lain dengan distribusi tunjangan kesejahteraan.
Misalnya, penyaluran kepada calon penerima fiktif atau penyaluran kepada kroni pejabat publik dengan tujuan agar uang kesejahteraan sosial mengalir ke kantong pribadi atau kelompok. Hal ini terjadi pada tahun 2010 dalam kasus korupsi dan politisasi kesejahteraan sosial di Bandung.
Akar Permasalahan Yang Berpola
Masalah politisasi dan korupsi dalam bantuan sosial tidak semata-mata disebabkan oleh kelemahan prosedural.
Akarnya terletak pada dua hal yang saling terkait, yaitu pola hubungan patron-klien yang masih berlaku dalam struktur masyarakat, dan politik mahal dalam sistem demokrasi Indonesia.
Pola hubungan patron-klien merupakan ciri masyarakat tradisional agraris
Dalam hal ini, dermawan dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk memberikan perlindungan atau manfaat kepada klien dengan status sosial yang lebih rendah sebagai imbalan atas bantuan pribadi dermawan.
Pola informal dan timbal balik ini telah mengakar dan tidak hilang dengan munculnya demokrasi elektoral.
Memang, arena persaingan demokrasi telah menjadi sarana subsistensi bagi politik klientelis. Para patron baru, yaitu para politisi yang mencalonkan diri dalam pemilihan parlemen, berusaha mendapatkan dukungan suara dari para pemilih (pelanggan) dengan memberikan materi berupa uang, barang atau jasa.
Misalnya, politisi yang memiliki akses ke keuangan publik dapat menggunakan bantuan sosial untuk mendapatkan dukungan pemilih.
Ada beberapa alasan mengapa klientelisme tetap ada – dan bahkan tumbuh subur – di tengah perubahan sosial.Salah satunya adalah kemiskinan. Masyarakat miskin lebih cenderung menerima untuk memberikan lebih sedikit materi dari politisi daripada membutuhkan kebijakan yang lebih luas tentang masalah yang mereka hadapi.
Sementara itu, iklim politik Indonesia yang mahal menuntut sejumlah besar modal dari politisi untuk mendanai pencalonan dan kampanye politik. Korupsi anggaran publik, termasuk kesejahteraan, adalah salah satu cara untuk memenuhi tuntutan ini.
Dalam kajian berita politik Indonesia, mahalnya biaya politik di Indonesia antara lain disebabkan oleh tingginya mahar yang dibutuhkan partai politik sebagai salah satu syarat pencalonan, mahalnya biaya kampanye pemilu karena kandidat harus menguasai mesin politik pribadi, dan lemahnya institusionalisasi pendanaan politik.
Upaya Peningkatan Pengelolaan Bansos
Kuatnya aspek politik menggarisbawahi pentingnya solusi yang tidak terbatas pada aspek teknis prosedur.
Selain terus meningkatkan DTKS sebagai salah satu landasan Alokasi Kesejahteraan dan mengadopsi distribusi berbasis digital/transfer daripada uang tunai, ada dua hal penting yang harus dilakukan.
Pertama, membangun pengetahuan publik tentang anggaran publik (budget literacy) untuk meningkatkan partisipasi publik dalam proses penganggaran.
Informasi ini penting tidak hanya untuk menyadarkan masyarakat akan hak anggaran mereka, tetapi juga untuk memperkuat sikap kritis mereka sebagai pemilih agar tidak membeli dukungan suara melalui penyalahgunaan anggaran publik.
Masyarakat harus didorong untuk ikut mengawal anggaran publik melalui inisiatif-inisiatif seperti Citizens’ Control, yang memungkinkan masyarakat ikut serta dalam pemeriksaan keuangan negara oleh BPK.
Kedua, upaya serius harus dilakukan untuk menciptakan sistem pendanaan politik yang efektif, transparan, dan akuntabel sehingga penyalahgunaan anggaran untuk mendanai kegiatan politik dapat diminimalkan.
Studi menunjukkan bahwa pengaturan pendanaan politik saat ini tidak berfungsi di Indonesia karena partai politik mengabaikan peraturan ini dan bahwa sumbangan ilegal dan perilaku korup untuk mendanai kegiatan politik tersebar luas.
Ke depan, kerangka kondisi pendanaan politik melalui sumbangan publik atau pendanaan negara harus lebih baik dilaksanakan.
Demikian ulasan mengenai Korupsi dan Politisasi Merupakan Masalah Budaya dan Sistem Politik Indonesia yang dapat saya sampaikan, semoga bisa menjadi sumber informasi yang berguna untuk Anda. /Aha
Baca Juga: Sejarah dan Budaya Maluku pada Masa Kolonialisasi